Dalam pola-pola hereditas, Sutton (sarjana Amerika) adalah orang yang pertama kali mendalami masalah pola-pola hereditas berpendapat sebagai berikut:
- Jumlah kromosom yang terkandung dalam sel telur dan sel sperma adalah sama, yaitu masing-masing setengah jumlah kromosom yang dikandung oleh setiap sel induknya.
- Organisme hasil pembuahan bersifat diploid (setiap selnya mengandung 2 perangkat kromosom).
- Dalam peristiwa meiosis, yaitu kedua perangkat kromosom memisah secara bebas dan mengelompok secara bebas dengan kromosom lain yang bukan homolognya.
- Bentuk dan identitas setiap kromosom adalah tetap, gen sebagai satu kesatuan faktor penurunan sifat adalah mantap walaupun mengalami peristiwa mitosis atau meiosis.
Pola hereditas yang dikemukakan Sutton merupakan
penegasan terhadap hukum Mendel. Berdasarkan hasil penelitian Mendel, pada
pembastaran dengan satu sifat beda (monohibrid), ratio fenotipe F2 adalah 12:1
jika kasusnya intermediet dan 3:1 jika kasusnya dominan penuh.
Pada pembastaran dihibrid, fenotipe F2 terdiri atas 4
macam, dengan ratio 9:3:3:1. Perbandingan tersebut bersifat umum dan akan
selalu demikian, apabila setiap gen memiliki pekerjaan sendiri-sendiri untuk
menumbuhkan karakter. Dalam kenyataannya, para ilmuwan sering menemukan angka
perbandingan lain, yang sekilas tampak berbeda dan menyimpang dari hukum
Mendel, seperti perbandingan fenotipe F2 dari persilangan dihibrid diperoleh
9:3:4:9:7, 12:3:1:9:6:1, 15:1 dan lain-lain. Apabila dicermati, ternyata,
angka-angka yang muncul tersebut merupakan hasil penggabungan dari angka yang
dikemukakan oleh Mendel. Berikut adalah beberapa peristiwa mengenai perubahan
atau penyimpangan yang terjadi pada gen atau kromosom, sehingga hasil
perkawinan suatu pasangan induk seolah-olah menyimpang dari hukum Mendel.
Apabila diteliti lebih lanjut, ternyata angka-angka
perbandingan itu tidak lain adalah penggabungan dari beberapa angka
perbandingan yang semula ditemukan oleh Mendel, yaitu (9+3) : 3 : 1, 9 : 3 :
(3+1), 9 : (3+3+1), 9 : (3+3): 1, (9+3+3) : 1, dan seterusnya. Karena alasan
itulah maka disebut penyimpangan semu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar